Minggu, 13 Desember 2015

Permainan Tradisional Sondah


Permainan ini pada umumnya dimainkan oleh anak perempuan. Pola gambar berbentuk kotak-kotak berpalang dibuat di tanah.
Setiap pemain memegang sepotong pecahan genteng atau batu pipih, yang kemudian dilemparkan ke dalam kotak permainan. Pemain melompat-Iompat dari kotak ke kotak berikutnya. Kotak yang berisi pecahan genting tidak boleh diinjak. Pemain dinyatakan kalah jika menginjak garis kotak atau bagian luar kotak. Pemain pertama disebut mi-hiji, kedua mi-dua, ketiga mi-tilu, dan seterusnya.

Permainan Tradisional Paciwit -ciwit Lutung



Permainan ini dilakukan oleh 3-4 orang anak, baik anak perempuan maupun lelaki. Setiap pemain berusaha saling mendahului mencubit (nyiwit) punggung tangan di urutan teratas sambil melantunkan kawih :

“Paciwit-ciwit lutung, Si Lutung pindah ka tungtung, Paciwit-ciwit lutung, Si Lutung pindah ka tungtung”

Pada umumnya, tidak ada pihak yang dinyatakan menang atau kalah. Jadi, jenis permainan ini semata-mata dilakukan hanya untuk bersenang-senang dan mengisi waktu pada malam terang bulan.

Permainan Tradisional Gatrik



Permainan dimainkan oleh dua orang atau dua regu yang beranggotakan beberapa orang. Alat yang dimainkan adalah tongkat pemukul terbuat dari kayu dan potongan kayu sepanjang seperempat tongkat pemukul, yang biasa disebut “anak gatrik”. Anak gatrik diletakkan di lubang miring dan sempit dengan setengah panjangnya menyembul di permukaan tanah. Ujung anak gatrik dipukul dengan tongkat pemukul. Anak gatrik kembali dipukul sejauh-jauhnya ketika
terlontar ke udara. Bila anak gatrik tertangkap lawan, pemain dinyatakan kalah. Bila tidak tertangkap, jarak antara lubang dan tempat jatuhnya dihitung untukmenentukan pemenangnya.

Permainan Tradisional Oray -Orayan


Permainan ini dimainkan beberapa anak perempuan maupun lelaki di lapangan terbuka. Para pemain saling memegang ujung baju bagian belakang teman didepannya untuk membentuk barisan panjang. Pemain terdepan berusaha menangkap pemain yang paling belakang yang akan menghindar, sehingga barisan bergerak-meliuk-liuk seperti ular, tetapi barisan itu tidak boleh terputus. Sambil bermain, pemain melantunkan kawih.

”Oray-orayan luar leor ka sawah …,
Tong ka sawah parena keur sedeng beukah
Oray-orayan luar leor ka kebon …,
Tong ka kebon aya barudak keur ngangon”

Permainan Tradisional Perepet Jengkol


Permainan ini dilakukan oleh 3-4 anak perempuan atau lelaki. Pemain berdiri saling membelakangi, berpegangan tangan, dan salah satu kaki saling berkaitan di arah belakang. Dengan berdiri dengan sebelah kaki, pemain harus menjaga keseimbangannya agar tidak terjatuh, sambil bergerak berputar ke arah kiri atau kanan menuruti aba-aba si “dalang”, yang bertepuk tangan sambil melantunkan kawih (nyanyian) :

“Perepet jengkol jajahean.., Kadempet kohkol jejeretean…”

Tidak ada pihak yang dinyatakan menang atau kalah dalam permainan ini. Jadi, jenis permainan ini hanya dimainkan untukbersenang-senang pada saat terang bulan.

Permainan Tradisional Kelereng

Apa saja nama atau jenis permainan yang dapat kami mainkan dengan kelereng-kelereng tersebut? nama-nama permainan dengan kelereng yang masih saya ingat diantaranya adalah: PAL, Oles, Naga atau Apollo dan Tapo’ Lari (Tapo’ adalah bahasa melayu Pontianak yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia artinya adalah sembunyi. jadi kalau betapo’ artinya bersembunyi)

main PAL, dimainkan oleh beberapa anak, minimal dimainkan oleh 2 orang, di atas tanah yang lembut (tidak kering). di atas tanah itu dibuat gambar dan garis yang terdiri dari 2 buah tanda yang menyerupai huruf N dan garis panjang sebagai pembatas (yang disebut sebagai PAL)

Main Oles, dimainkan oleh minimal 2 orang anak, diatas tanah. Diatas Tanah dibuat sebuah lingkaran yang luasnya dapat dikehendaki oleh pemain sesuka hati. Namun rata-rata jari-jari lingkaran yang biasa digunakan sekitar 30-50 CM. di tengah-tengah lingkaran itu di letakkan beberapa buah kelereng hasil taruhan atau pasangan setiap pemain. jika yang bermain 3 orang, dan pasangan atau taruhannya 4 buah kelereng, maka jumlah di tengah lingkaran itu adalah 3×4=12 buah kelereng.
Cara bermain Oles. dalam permainan oles ini setiap anak diberi kesempatan satu kali setiap sesi.

Orang Betawi menyebut kelereng dengan nama gundu. Orang Jawa, neker. Di Sunda, kaleci. Palembang, ekar, di Banjar, kleker. Nah, ternyata, kelereng juga punya sejarah. Ini kuketahui saat membaca majalah Intisari edisi Desember 2004, rubrik asal-usul, hal 92.

Sejak abad ke-12, di Prancis, kelereng disebut dengan bille, artinya bola kecil. Lain halnya di Belanda, para Sinyo-Sinyo itu menyebutnya dengan knikkers. Lantas, adakah pengaruh Belanda, khususnya di Jawa, knikkers diserap menjadi nekker? Mengingat, Belanda pernah ‘numpang hidup’ di Indonesia.

Tahun, 1694. Di Inggris ada istilah marbles untuk menyebut kelereng. Marbles sendiri digunakan untuk menyebut kelereng terbuat dari marmer yang didatangkan dari Jerman. Namun, jauh sebelumnya, anak-anak di Inggris telah akrab menyebutnya dengan bowls atau knikkers.

Kelereng populer di Inggris dan negara Eropa lain sejak abad ke-16 hingga 19. Setelah itu baru menyebar ke Amerika. Bahan pembuatnya adalah tanah liat dan diproduksi besar-besaran.

Jauh pada peradaban Mesir kuno, tahun 3000 SM, kelereng terbuat dari batu atau tanah liat. Kelereng tertua koleksi The British Museum di London berasal dari tahun 2000-1700 SM. Kelereng tersebut ditemukan di Kreta pada situs Minoan of Petsofa.

Pada masa Rowami, permainan Kelereng juga sudah dimainkan secara luas. Bahkan, menjadi salah satu bagian dari festival Saturnalia, yang diadakan saat menjelang perayaaan Natal. Saat itu semua orang saling memberikan sekantung biji-bijian yang berfungsi sebagai kelereng tanda persahabatan.

Salah seorang penggemar kelereng adalah Octavian, kelak menjadi Kaisar Agustus. Layaknya permainan, di Romawi saat itu juga mempunyai aturan-aturan resmi. Peraturan tersebut menjadi dasar permainan sekarang.

Teknologi pembuatan kelereng kaca ditemukan pada 1864 di Jerman. Kelerang yang semula satu warna, menjadi berwarna-warni mirip permen. Teknologi ini segera menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika. Namun, akibat Perang Dunia II, pengiriman mesin pembuat kelereng itu sempat terhenti dan akhirnya masing-masing negara mengembangkannya sendiri.

Permainan Tradisional Madudutu Lese (Maluku)


Asal Usul

Madudutu lese artinya “banting badan”. Dinamakan demikian, karena dalam permainan ini masing-masing pemain berusaha sekuat tenaga agar dapat membanting badan atau tubuh lawannya sehingga jatuh ke tanah dan tidak lagi berdaya untuk membalas bantingan tersebut. Permainan madudutu lese terdapat di Puau Halmahera, tepatnya di Kecamatan Sahu dan Kecamatan Jailolo, Kabupaten Maluku Utara. Pada mulanya madudutu lese hanya dilakukan pada waktu malam hari sebelum diadakan upacara Waleng yaitu upacara adat yang biasa dilakukan sesudah panen padi. Namun, madudutu lese tidak terikat pada waleng, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda. Jadi, pelaksana waleng tidak beranggung jawab atas jalannya madudutu lese dan sebaliknya, pelaksana madudutu lese pun tidak beranggung jawab terhadap jalannya upacara waleng. Saat ini permainan madudutu lese dapat dimainkan kapan saja tanpa harus menunggu adanya upacara waleng terlebih dahulu.

Pemain

Madudutu lese hanya dimainkan oleh laki-laki dewasa yang dianggap sudah mahir berkelahi, sehingga jika bermain tidak terlalu membahayakan keselamatannya. Permainan ini terdiri dari 2 orang atau satu lawan satu dan dilaksanakan secara bertingkat. Artinya, yang menang melawan yang menang lagi sehingga selesai bermain tinggal beberapa orang saja. Permainan ini dapat 7 atau 9 malam berturut-turut menurut pelaksanaan upacara Waleng.

Tempat dan Peralatan Permainan

Permainan madudutu lese tidak memerlukan tempat yang luas (10 x 10 meter), karena satu kali pertandingan hanya diikuti oleh dua orang. Halaman rumah atau tanah yang agak lapang sudah cukup untuk menyelenggarakan permainan. Madudutu lese juga tidak memerlukan peralatan tertentu untuk membantu jalannya permainan, karena untuk menjatuhkan lawan hanya diperlukan kekuatan tubuh yang disalurkan melalui tangan dan kaki.

Aturan dan Proses Permainan

Aturan permaian tergolong mudah, yaitu siapa yang dapat menjatuhkan atau membanting lawannya maka dia dianggap sebagai pemenangnya. Pada saat pertandingan dimulai, pemain berdiri berhadapan sambil memegang ikat pinggang lawannya. Setelah wasit memberikan aba-aba, para pemain berusaha untuk membanting dengan tangan tetap berada pada ikat pinggang lawan tersebut. Ada beberapa cara untuk merobohkan lawan antara lain: labit rou, yaitu mengaitkan kaki lawan dari bagian luar atau dari dalam; badu bolon, yaitu membanting lawan dengan cara menjepit kaki lawan dengan kedua lutut sendiri, dan sementara itu tangan yang memegang ikat pinggang membanting ke kiri atau kekanan; sikur, yaitu mengangkat lawan dengan kedua lengan pada kain pengikat pnggang kemudian berusaha membanting lawan itu ke tanah; dan si wale, yaitu melemparkan lawan ke tanah tetapi tangan tidak boleh terlepas dari ikat pinggang lawan tersebut. Apabila seorang pemain dapat menjatuhkan lawannya maka ia dinyatakan sebagai pemenang dan nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal dua pemain terakhir yang selalu menang berhadapan satu sama lain untuk mendapatkan pemenang utama.

Nilai Budaya

Nilai yang terkandung dalam permainan rampuat kakaran adalah keterampilan, kerja keras, kerja sama, dan sportivitas. Nilai keterampilan tercermin dari keterampilan membawa bilah bambu dalam berbagai posisi dan ketepatan mengenai bilah bambu lawannya. Nilai kerja keras tercermin dari usaha para pemain untuk mengenai bilah bambu lawan. Kemudian, nilai kerja sama tercermin dari kekompakan pemain dalam berusaha memperoleh poin agar bisa memenangkan permainan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari adanya kesadaran bahwa dalam permainan tentunya ada pihak yang kalah dan memang. Oleh karena itu, setiap pemain dapat menerima kekalahan dengan lapang.